Fikasa Adalah

Fikasa Adalah

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Suku bunga simpanan perbankan yang menguncup, menyebabkan segala bentuk tawaran investasi berimbal hasil lebih gede kian memikat hati masyarakat. Namun ingat, bila tak cermat dan waspada, maka siap-siap saja memikul risikonya.

Salah satu bentuk tawaran investasi yang kini beredar di masyarakat adalah surat sanggup bayar (promissory note) Grup Fikasa Raya (Fikasa). Dari temuan KONTAN, promissory note tersebut diterbitkan oleh PT Wahana Bersama Nusantara (Wahana Bersama) yang masih menjadi bagian usaha Grup Fikasa.

Wahana Bersama dipimpin oleh Bhakti Salim, putera dari Kayo Salim. Adapun Kayo Salim, awalnya merupakan salah satu pemegang saham PT Miwon Indonesia, produsen bumbu penyedap merek Mi-Won yang sudah tak asing lagi terdengar ditelinga masyarakat Indonesia.

Dari tawaran investasi promissory note Grup Fikasa yang beredar disejumlah website, Kontan.co.id mendapat ceita dari salah seorang agen penjual. Kata sang agen, program investasi ini sudah mulai ditawarkan sekitar tahun 2012 silam.

Masyarakat yang berminat, bisa menempatkan dana investasi minimal Rp 100 juta. Adapun jangka waktu penempatan bervariasi mulai dari 3 bulan hingga 12 bulan, dan tentunya bisa diperpanjang. Wahana Bersama menyiapkan imbal hasil mulai dari 9% hingga 11% per tahun, dengan pembayaran bunga dilakukan saban bulan.

Adapun investor yang tertarik dan kemudian menempatkan dana pada promissory note itu, akan mendapat bukti bilyet dan perjanjian tertulis yang ditandatangani Bhakti Salim. Dana investasi investor masuk melalui rekening PT Bank Central Asia Tbk (BCA) milik Wahana Bersama Nusantara dengan bernomor rekening 5460313190 dan 5460391719. Selain itu, dana juga ditampung pada rekening BCA milik Tiara Global Propertindo bernomor 2370311199 dan 2370597777.

Sang agen menambahkan, investasi tersebut akan dikelola pada dua perusahaan terbuka milik Grup Fikasa, yakni PT Tri Banyan Tirta Tbk (ALTO) dan PT Saraswati Griya Lestari Tbk (HOTL). Pada kedua emiten itu, Bhakti Salim pun menjabat sebagai Direktur Utama. “Proyek yang baru selesai itu hotel Renaissance Bali, yang dibiayai dari program ini,” terang sang agen, Selasa (6/3).

Dari hasil menjajakan promissory note, sang agen mengaku mendapat komisi sebesar 2% dari nilai penempatan dana investor yang direkrutnya. Sang agen pun masih akan mendapat tambahan fee sebesar 0,5%, apabila investor yang telah direkrutnya, bisa menarik investor baru lainnya.

Sayangnya sang agen tidak bisa menunjukkan apakah promissory note tersebut sudah mengantongi izin dari Bank Indonesia (BI). Sebab sesuai Peraturan Bank Indonesia No.19/9/PBI/2017 Tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, terutama pada Pasal 8, diterangkan bahwa surat berharga komersial baik yang diterbitkan sekali atau berkelanjutan, wajib memperoleh persetujuan pendaftaran dari BI.

Selanjutnya pada Pasal 4 PBI tersebut juga menegaskan pembelian surat berharga komersial oleh investor ditetapkan minimal sebesar Rp 500 juta. Adanya ketentuan pembatasan minimal pembelian merupakan cara regulator untuk menjaring investor yang benar-benar paham risiko investasi (qualified investor).

Sayang hingga berita ini diturunkan, Kontan.co.id belum menerima tanggapan dari Bhakti Salim. Panggilan telepon dan pesan singkat Kontan.co.id kepada Bhakti tak menuai hasil. Demikian juga surat elektronik (email) yang dilayangkan KONTAN kepada Bhakti Salim lewat PT Tri Banyan Tirta Tbk tak berbelas.

Di pihak lain, Nanang Hendarsah Kepala Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI menyatakan memang benar promissory note di atur dan diawasi lembaganya. Namun Nanang belum bisa memastikan status promissory note Wahana Bersama. "Terima kasih infonya. Akan kami tindaklanjuti," tutur Nanang, Rabu (7/3).

Sekadar catatan, pada 2 Mei 2014 silam PT Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham PT Tri Banyan Tirta Tbk dan PT Saraswati Griya Lestari Tbk. Hal itu terjadi karena BEI menemukan ada promissory note dan medium term note (MTN) yang diterbitkan atas nama kedua perusahaan itu namun tidak dicatatkan pada laporan keuangan masing-masing perusahaan. Kala itu, manajemen kedua perusahaan menjelaskan bahwa dana hasil penerbitan promissory note dan MTN tidak dipakai oleh kedua perusahaan. Justru dana itu dipakai oleh induk usahanya masing-masing, yang merupakan penerbit asli promissory note dan MTN. Induk usaha HOTL tak lain adalah PT Tiara Global Propertindo dan induk usaha ALTO adalah PT Wahana Bersama Nusantara.

EmitenNews.com—PT Tri Banyan Tirta Tbk (ALTO) menyatakan bahwa kasus investasi bodong yang menyeret dua investornya yaitu Bhakti…

07/07/2022, 10:45 WIB

Pekanbaru, Elaeis.co - Lima terdakwa kasus penipuan investasi bodong meminta dibebaskan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejari Pekanbaru. Namun, hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menolak permohonan mereka, apalagi kerugian korban mencapai puluhan miliaran.

Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan dalam kasus penipuan investasi Wahana Bersama Nusanta dan PT Tiara Global Propertindo di PN Pekanbaru Senin (29/11/2021). Dimana total kerugian nasabah Rp 84 miliar.

"Bahwa dalam surat dakwaan yang disusun JPU dalam perkara ini tidak jelas dalam merumuskan tindak pidana yang dilakukan terdakwa," kata Yudi Krismen pengacara terdakwa Maryani Senin (29/11/2021).

Kepada majelis hakim yang dipimpin Dahlan, penasehet hukum  menyatakan terdakwa melanggar Pasal 378 KUHPidana dan Jo Pasal 64 Ayat (1) jo Pasal 55 KHUPidana itu terjadi ketidakjelasan apakah itu perbuatan perseorangan apa perusahaan.

"Di sisi lain terdakwa didakwa melakukan tindak pidana penipuan namun tidak jelas unsur mana yang dilanggar," tukasnya.

Pihak penasehet hukum menguraikan sejumlah alasan kalau apa yang didakwakan tidak berdasar.

"Menyatakan Surat Dakwaan JPU batal demi hukum. Membebaskan terdakwa dari segala tuntutan dan membebaskan dari tahanan," ucapnya.

Namun atas permintaan terdakwa itu majelis Hakim menolak untuk membebaskan terdakwa. "Setelah berdiskusi dengan majelis kita bersepakat terdakwa tetap ditahan," kata Dahlan.

Dalam kasus ini ada lima orang yang diadili. Mereka adalah Bhakti Salim selaku Ditektur Utama PT WBN, Agung Salim, Komisaris Utama PT WBN, Elly Salim selaku Direktur PT WBN, Christian Salim selaku Direktur PT TGP dan Maryani selaku marketing. Kelima terdakwa mengikuti sidang secara virtual.

Awal mula kasus itu sejak tahun 2016, PT WBN yang bergerak di bidang usaha consumer product dan PT TGP yang bergerak di bidang usaha properti, bernaung di bawah Fikasa Group sedang membutuhkan tambahan modal untuk operasional perusahaan. Kemudian mereka mencari nasabah ke Pekanbaru.

Kepada para nasabah di Pekanbaru, mereka menawari bunga deposito 9-12 persen pertahun dengan produk promissory note PT WBN dan PT TGP. Pada awalnya mereka membayar bunga deposito. Saat menawarkan promossory note, Maryani mengiming-imingi bunga yang sangat tinggi melebihi bunga bank pada umumnya.

Di mana bunga bank pada umumnya hanya 5 persen pertahun, tapi Maryani menjanjikan bunga 9 sampai 12 persen pertahun. Namun sejak 2019, tidak ada pembayaran lagi.

Akibatnya, nasabah dirugikan Rp 84,9 miliar. Para nasabah belakangan meminta uang mereka dikembalikan. Para terdakwa pun berjanji akan mengembalikan uang nasabah, namun tidak kunjung terealisasi.

Mabes Polri pun bergerak menangkap para pelaku setelah mendapat laporan korbab. Kasus dilimpahkan ke Kajaksaan Agung dan selanjutkan disidangkan di Pekanbaru.

KORBAN Fikasa Group berencana melaporkan hakim Mahkamah Agung atau MA karena memutus lepas tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan Bhakti Salim dkk.

Pengacara korban Fikasa Grop Saiful Anam mengaku, ada yang janggal dengan putusan hakim Mahkamah Agung yang di Ketuai Dr. Desnayeti, M. SH., MH. dan hakim anggota Dr. H. Achmad Setyo Pudjoharsono, S.H., M.Hum. dan Yohanes Priyana, S.H., M.H tersebut.

“Aneh dan ajaib MA justru melepaskan terpidana dari jeratan tindak pidana pencucian uang. Dalam waktu dekat kami akan melaporkan ke hakim itu ke KPK, Komisi Yudisial (KY), Menkopolhukam, DPR hingga presiden Jokowi,” kata Saiful Anam, Kamis 15 Agutus 2024.

Saiful Anam mengungkapkan, putusan hakim MA tidak adil dan menciderai rasa keadilan para korban.

“Padahal perkara pokoknya terbukti melakukan tindak pidana ekonomi khusus dalam hal ini tindak pidana perbankan, dengan cara mengumpulkan dana dari masyarakat tanpa seijin OJK. Tapi kok malah diputus lepas oleh hakim MA. Ini kan aneh,” ungkapnya.

Saiful Anam telah mencium aroma ketidak beresan kasus Fikasa Group yang ditanganinya sejak awal.

Dari mulai terdapat kortingan putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 1155/Pid.Sus/2022/PN PBR dari menjatuhkan putusan penjara masing-masing 11 tahun dan denda Rp 10 miliar apabila tidak dibayar diganti pidana kurungan 6 bulan.

Namun pada tingkat banding melalui perkara Nomor 612/Pid.Sus/2023/PT PBR Pengadilan Tinggi Riau justru menurunkan atau mengubah putusan menjadi 3 tahun dan denda sebesar Rp 10 miliar jika tidak dibayar harus diganti pidana kurungan 6 bulan.

“Ternyata pada tingkat Kasasi melalui Putusan 3353 K/Pid.Sus/2024 malah melepaskan Bhakti Salim dkk dari segala tuntutan hukum,” jelasnya.

Dirinya menduga ada permainan yang sistematis dan massif dalam memutus perkara ini. Putusan perakara itu di Mahkamah Agung lanjut Saiful Anam, sudah diputus tanggal 14 Juni 2024. Tapi baru dimunculkan dalalm laman resmi Mahlaman Agung tanggal 15 Agustus 2024. Ini aneh sekali.

“Patut diduga Bhakti Salim dkk sangat sakti. Bayangkan dari putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru diturunkan oleh Pengadilan Tinggi Riau hingga diputus lepas oleh Mahkamah Agung. Kemana nurani hakim MA yang memutus perkara tersebut. Bahkan restitusi yang seharusnya didapatkan oleh korban bisa hangus begitu saja,” urai Saiful Anam.

Pihaknya mengaku akan menyusun strategi apakah dimungkinkan untuk dilakukan upaya Peninjauan Kembali (PK) atas perkara tersebut.

“Karena korban sangat dirugikan atas kerugian dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Bhakti Salim dkk. Saya yakin Kejaksaan Agung akan bersedia melakukan upaya PK,” pungkasnya.

Seperti Diketahui melalui website info perkara Mahkamah Agung tanggal 15 Agustus 2024 Bhakti Salim dkk melalui putusan menolak kasasi Penuntut Umum, mengabulkan kasasi para terdakwa, membatalkan putusan judex facti, mengadili sendiri, menyatakan para terdakwa terbukti melakukan perbuatan namun perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan, barang bukti dikembalikan kepada dari mana barang bukti tersebut disita. (usi/fat)

PEKANBARU (Independensi.com) – Putusan pengadilan negeri, Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung yang telah menjatuhkan vonis 14 tahun penjara  kepada Bhakti Salim, Agung Salim, Christian Salim, Elly Salim dan 12 tahun penjara kepada Maryani, merupakan suatu keputusan yang tidak dapat di pisahkan dalam persidangan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang digelar di Pengadilan Negeri Pekanbaru.

Karena putusan tersebut telah inkrah dan mempunyai kekutaan hukum tetap.

Hal itu diakui Dr Rocky Marbun SH, MH saksi ahli (a de charge) yang diajukan terdakwa Bhakti Salim Cs saat menjawab pertanyaan Rendy Pinalosa SH, MH dan Jumieko Andra SH MH – Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan yang digelar Selasa (27/6) sore di Pengadilan Negeri Pekanbaru.

Dalam persidangan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dipimpin Ahmad Fadil SH dengan hakim Anggota Dr Salomo Ginting SH MH dan Yuli Artha Pujoyotama SH MH, lima terdakwa masing-masing Bhakti Salim, Agung Salim, Christian Salim dan Elly Salim dan Maryani, menyampaikan permintaan melalui kuasa hukumnya, ingin melakukan perdamaian dengan ke-10 nasabah yang menjadi korban.

“Yang Mulia, kami selaku kuasa terdakwa melalui persidangan ini ingin mengajukan perdamaian kepada para nasabah. Kami akan mengembalikan uang para nasabah,” kata pengacara terdakwa.

Mendengar permintaan para terdakwa yang disampaikan melalui kuasa hukumnya di persidangan, Ahmad Fadil selaku ketua majelis mengatakan, pihaknya tidak boleh mencampuri urusan jika dikaitkan dengan perdamaian pihak-pihak.

Silahkan sampaikan permohonan melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kalau ada hasil rembukan para pihak, itu yang dibawa ke persidangan untuk dipertimbangkan majelis, kata Fadil.

Sementara Rendi Pinalosa SH,MH Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjawab permohonan kuasa hukum terdakwa mengatakan, silahkan ajukan surat permohonan perdamaian secara resmi melalui Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru, nanti akan dibalas secara tertulis, kata Rendi.

Ditempat terpisah, Archenius Napitupulu salah satu korban investasi bodong melalui promissory note (surat hutang) mengatakan, upaya damai itu sejak dulu sudah mereka sampaikan (tawari), namun hanya sebatas omongan saja tidak ada realisasi.

Mereka itu dari dulu minta damai dan ingin mengembalikan uang nasabah, namun tidak pernah dilaksanakan. “Jadi mereka itu hanya janji-janji saja,” tegasnya.

Untuk diketahui, empat bos PT Fikasa itu diantaranya, Bhakti Salim alias Bhakti selaku Direktur Utama PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP), Agung Salim selaku Komisaris Utama PT WBN, Elly Salim selaku Direktur PT WBN dan Komisaris PT TGP serta Christian Salim selaku Direktur PT TGP. Semua perusahaan itu ada di bawah naungan PT Fikasa Group.

Terdakwa lainnya yakni, Maryani selaku Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP (Fikasa Grup). Melalui Maryani, PT Fikasa mendapatkan nasabah yang ingin menempatkan dananya.

Dalam perkara ini, para terdakwa berhasil mengumpulkan para nasabahnya sebanyak 10 orang dari Pekanbaru, sejak tahun 2016-2019.  Perbuatan itu berawal ketika itu PT WBN yang bergerak di bidang usaha consumer product.

Sedangkan PT TGP yang bergerak di bidang properti serta perhotelan, yang sedang membutuhkan tambahan modal untuk membiayai operasional perusahaan.

Saat itulah terdakwa Agung Salim mencari ide untuk mendapatkan tambahan modal tersebut.

Diputuskan untuk menerbitkan Promisorry Note atas nama perusahaan yang ada dalam Fikasa Grup, yaitu PT WBN dan PT TGP.

Kemudian terdakwa Agung menyuruh terdakwa Maryani menjadi Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP (Fikasa Grup).

Pada beberapa Promissory Note PT WBN dari para korban, ternyata dana yang ditransfer bukan ke PT WBN melainkan ke rekening PT Inti Putra Fikasa pada ketiga bank itu.

Setelah itu, para nasabah mendapatkan bukti penempatan berupa perjanjian promissory note dan certificate yang berisi nominal penempatan, bunga keuntungan dan tanggal jatuh tempo.

Tidak hanya itu, seharusnya dana digunakan untuk operasional dan modal pengembangan usaha dari PT WBN dan PT TGP.

Namun justru digunakan para terdakwa untuk operasional dan modal usaha perusahaan lain yang ada dalam Fikasa Group.

Diantaranya, untuk usaha air minum dan perhotelan dengan badan hukum berbeda tanpa ada persetujuan nasabah.

Hasil keuntungan dari usaha tersebut masuk ke perusahaan group Fikasa, juga ke rekening pribadi terdakwa sejak Oktober tahun 2016 sampai dengan bulan September 2020.

Sementara para nasabah yang sudah menanamkan modal tidak mendapatkan keuntungan. Para terdakwa menjanjikan kan membayarnya pada 25 Maret 2020.

Akan tetapi hingga kasus ini bergulir di persidangan, uang sebesar Rp84,9 miliar tersebut belum dikembalikan ke 10 nasabah.

JPU menjerat para terdakwa dengan Pasal 3 dan 4 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana.

(Maurit Simanungkalit)

Diunggah oleh: Roberto Firmino